Laman

Senin, 21 Januari 2013

Catatan Kecil

Tak terasa, sudah hampir melewati angka setahun aku menikah. 
Bagaimana perasaanku? 
yang jelas semua gado-gado. begitu berwarna. banyak hal-hal baru. dan, tak sedikit pula yang harus kubenahi. dan yang pasti setiap jalan yang kutempuh, waktu yang kuhabiskan, memberikan perenungan yang sangat berarti bagi diriku. 
Bagaimana dengan mimpiku?
Mimpiku selalu terpatri dihatiku. memang selembar kertas yang kugantung di dinding kamarku waktu singgel dulu, tak kubawa serta dalam hjrahku. namun bukan berarti lekang termakan debu dan rayap saja. tetap saja, Mimpiku ada di hati. dan, akan terkabulkan pada suatu hari nanti. 
aku adalah orang yang sangat beruntung pada satu sisi. namun juga, sebagai makhluk Tuhan yang tiada sempurna, aku merasa belum beruntung pada sisi lain. Hal ini sudah biasa. 
bagaimana aku mengobatinya?
bagiku, seakrab-akrabnya sahabat kita, tetap saja tidak bisa menjadi tempat yang strategis mengiba. ketika diam, mengangis dalam hati, kuungkapkan apa yang kuhendaki. Pada_Nya. aku bukanlah orang yang piawai dalam menyampaikan informasi. sehingga tak menjamin orang-orang yang dekat dengan kita akan mampu dengan baik mencerna apa yang kita ugkapkan dan yang kita maksud. bertanya dianggapnya menggali, kita peduli dianggapnya basa basi. kita bercerita dianggap mengumbar. Ah, sungguh bercengkrama dengan Tuhan saja yang nikmat. Selalu jawaban-jawaban indah yang kudapat. Memang tak jarang kulalui dengan menangis dulu, Usaha dulu, tawakal dulu. Justru aku memahami itu caranya, itu prosesnya. 

"Ya Allah, jagalah suami hamba dari segala bentuk kemaksiatan"
"Karuniakanlah kepada kami harta yang halal lagi berkah" 
"Berikanlah Permata hati yang menyejukkan hati dan mata kami" 
"Bantulah kami kelak mendidiknya agar bisa berbakti kepada orangtuanya, kepada Engkau dan berguna untuk masyarakat"
"Berikanlah kami keluangan harta dan waktu untuk belajar al-Quran"
"Perkenankanlah takdir baik singgah di diri kami "
"Ampunilah dosa-dosa kedua orangtua hamba, kasihilah mereka, sebagaimana mereka telah mengasihi hamba diwaktu kecil"
"Jagalah hati dan mata kami"
"Hindarkanlah kami dari rasa iri dan dengki"
"Berikanlah kami kebajikan dunia dan akhirat, Ammiiin"

Kamis, 07 Juni 2012

Buku dan Hijrah


Jujur saja bahwa sampai saat ini saya merasa begitu terpuruk. Sulit menumbuhkan semangat setelah lelah dan rutinitas yang telah membuat bosan. Huh! Sebenarnya ada satu hal yang bisa mengubah segalanya. BUKU. Itu saja. Saya telah lama ingin membeli buku, tapi sampai saat ini kebiasaan itu belum terulang kembali. Selain toko bukunya yang tidak selalu jualan, budgetnya harus direlakan buat keperluan lain. Ada lagi. Daftar buku buku yang ingin saya beli itu nggak ada di Pagaralam. Duh, Pagaralam. Kota kelahiran nan sejuk. Tapi kenapa dirimu masih begitu polos tanpa warna yang mengundnag selera. Mandela’s Way, Perempuan Perempuan Yang Mengubah Dunia, buku-buku terbitan Tarbawi. Uh! Gregetan!!

Tadi, karena nggak ada buku baru yan bisa dibaca, kembali deh membuka-buka daftar majalah dan buku-buku lama. Ada pendaran-pendaran semangat yang menghangat, tapi membacanya dua kali membuat saya merasa kehilangan waktu ini yang semestinya untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Ya Allah, pertemukanlah Hamba dengan teman-teman yang banyak buku-buku bagus. Jadi meski saya belum bisa membeli, minimal saya telah bisa mmebacanya lewat pinjaman. Tapi di Pagaralam benar-benar nggak ada. Hiks!

Pagaralam, Pagaralam. Kau Indah, sejuk, bebas polusi, menyehatkan. Tapi saya tetap tidak merasa puas. Saya masih butuh ilmu yan banyak, yang bejibun, yang mengalir kemana-mana. Sepertinya jika kau tetap seperti ini, saya akan meninggalkanmu. Saya akan pergi ke tempat dimana saya bisa mendapatkan buku sebanyak-banyaknya. Well, ada resikonya memang. Saya harus meninggalkan pekerjaan saya dan keluarga. Dua hal yang sangat rumit. Saya telah mendiskusikannya dengan orang-orang yang saya percaya dengan latar belakang yang berbeda-beda pula. Dan, pada intinya mereka sepakat bahwa saya harus make a move. Hihihi, kayak iklan rokok saja. Tapi saya nggak suka rokok. So, berhentilah merokok demi kesehatanmu dan agarsaya nyaman berbicara dengamu selamanya. Semoga dirimu akan membacanya suatu ketika.

Tarbawi edisi 236 th. 12, Syawal 1431, 7 Oktober 2010

“Jika kita jauh dari keluarga karena menuntut ilmu, maka pelihara kehormatan mereka dengan belajar  yang rajin. Jika kita meninggalkan mereka untuk urusan nafkah, jaga kehormatan mereka denga mencari pekerjaan-pekerjaan yang halal dan legal. Bekerjalah dengan gigih, dan jangan mudah menyerah”

Inilah yang membuat saya kian mantap untuk berhijrah. Belum lagi bahwa Allah telah memberikan ridho kepada hambaNya yang berhijrah dengan niat untuk lebih baik daris segi ibadah dan ilmu. Rasul dan sahabat hijrah dari Mekah ke Madinah semata-mata karena ingin eksistensi mereka sebagai muslim tetap terjaga.  Semua pasti beresiko memang, tapi ada berkahnya karena saya berniat baik. Tentang Ridho, entahlah saya lupa. Dimana saya sempat membaca sebuah kalimat. Isinya adalah “Mencari Ridho Allah bukan semata untuk Kaya”. Atau Ridho Allah bukan semata berbetuk kekayaan. Sebuah paradigm yang mengingatkan saya untuk jangan lupa dan salah sangka. Ya Allah buatlah benar-benar bahwa ridho Engkau itu bukan kami yakini semata dalam berbentuk harta, pangkat atau ketenaran. Tapi keshalihan kami, teman dan keluarga yang kian bertambah dan bisa kami menjaga keberadaan mereka serta jalan rezeki yang tidka perah putus. Buat kami ridho dnegan kekurangan harta yang kami miliki. Buat kami senang menjalani masa-masa kami yang mungkina akan dating nanti. Teguhkanlah hati kami untuk tidak pernah berpaling dari segala bentu kasih sayangMu yang tak pernah engkau hilangkan bagi semua makhluk ciptaanMu. (jadi curhat nih…)
Alhamdulillah, perut mulai hangat karena sudah sarapan. Telur kuah kuning, ikan asin dan tempe goreng, sudah cukup untuk pagi ini.
Matahari mulai masuk lewat pintu belakang rumah yang terbuka. Disini aku merasa butuh matahari untuk bergerak. Berbeda ketika ditempat suamiku di Bekasi. Panasnya seolah ingin izin untuk tak butuh barang sejenak. Kicau burung yang bergema dari kejauhan. Air sungai yang suaranya terdengar bendesah kala sepi merayap. Saat ini tak terdengar. Desauannya kalah dengan hingar binger kendaraan abad modern yang hilir mudik. Saya sendiri saat ini. Suami saya jauh di Bekasi. Ada Ebit G ade yang bisa mengobati rasa rindu ini. Luar biasa memang efek CINTA.
Biarlah, nanti aku akan menikmati hari-hariku menjadi seorang istri dengan Sang Pangeran Kunci Syurgaku. Aku akan bertemu dengan orang-orang lebih banyak lagi, belajar lagi. Aku ingin bahasa inggrisku mumpuni dan mampu bersaing dimanapun. Aku tidak memiliki apa-apa ya Allah. Hanya Engkau yang kumiliki. Ridhoi apa yang harus hamba jalani. Buat hamba ikhlas menjalaninya…

Senin, 10 Januari 2011

माय MEMORY

Dengarkan ceritaku. Dulu ketika aku SD, aku bukan sosok yang patut dilirik. Keluargku adalah percampuran antara dua suku. Jawa dan besemah. Ayahku adalah orang asli Besemah yang berasal dari Dusun Tnjung Pasai. Sedangkan ibuku adalah asli jawa yang polos. Kami tinggal di desa aurduri. Namun ternyata tak begitu banyak yang mengenal desa kami jika kusebut dengan nama desa it. Tapi kalau kusebut desa elngais, maka tak heran dari desa jauhpun tahu, dimana letak desa kami. Karena, selangis di desa kami sangat familiar bagi kalangan pemancing sejati.

Sahabat, dulu ketika aku masih kecil. Kami bertiga, aku ayukku dan kakakku, sering sekali diolok-olok sebagai suku jawa yang menyedihkan. Entahlah, apa yang membuat mereka sangat menyudutkan kami. Tapi satu hal yang sering kudengar, karena kami dari suku jawa.

Baiklah, akan kucerikan bagaimana aku kecil. Aku berkulit hitam, kata teman-temanku. Walau ternyata kata guruku nggak ada istilah kult hitam, yang ada , kulit sawo matang. Rambutku keriting, jelek, katanya. Aku paling kecil dibandingkan dengan teman-temanku. Aku lemah, tak berdaya jika diajak bertengkar. Pasti aku kalah. Suatu kali aku disuruh ibu pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Ada anak kecil yang umurnya dibawah aku. Belum masuk SD. Dia duduk didekat warung ditemani oleh satu orang dewasa. Dia duduk sambil merangkul anak tersebut. Dari jauh dia sudah meneriakiku.

“ jeme jawe-jeme jawe. Itam-itam”. Aku hanya berjalan saja. Sambil memandangi mukanya yang sepertinya benar-benar tidak menyukaiku. Orang dewasa disebelahnya diam saja, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Aku berjalan pulang dengan berusaha menganggap itu biasa saja. Ya, karena bila nanti kuceritakan dengan ibuku, dia pasti akan menjawab. “alah, dide nak dianingi. Pendamkah be”. Bunda nrimo, dengan semua yang terjadi. Kami memilki banyak keluarga dari pihak ayah di desa Aurduri. Namun akrabnya seperti bungn musiman. Kalau akrab, dekat sekali. Tapi kalu sedang tidak senag hati, keburukan seperti hal biasa untuk dibicarakan. Lagi-lagi, kami sering dianggap parasit. Keluarga miskin yang tangannya selau dibawah. Suatu ketika, anak-anak Wakku pulang. Ada yang dari Lahat, Tangerang, dan Belitang. Keluarga wakku, adalah keluarga besar. Cucunya, kala itu sudah banyak, ada beberapa yang sebaya dengan aku. Pagi itu kami asik bermain di teras depan rumah wak. Ramai. Beberapa lama kemudian, salah satu sepupu jauhku menaruh bakwan goreng yang masih hangat ditengah-tengah kami. Kemudian dia memanggil keponakn-keponakannya. Dan dibaginya satu-satu. Aku tak dipanggil, makanan di piring itu habis. Dia langsung masuk kedalam lagi. Tanpa menoleh kearahku sedikitpun. Yaaa, beginilah, biasa sajalah.

KEAHLIANKU

Aku pandai berenang. Berlomba dengan teman-temanku untuk mengambil koral di dasar sungai yang dalam, melompat dari pohon yang tinggi, berenang dengan ban, batang pisang atau rakit dari hulu kehilir. Bahkan ketika sungai sedang pasang. Huh! Kalau aku ingat, ingin rasanya mengulanginya kembali.

Mengisi hari-hari dengan memancing. Menyenangkan sekali. Setiap hari minggu, bulan puasa, atau setiap hari. Ikut kakak mamasang tagang2, menyeberang sungai, kehilir sungai. Dan pagi-pagi, ketika masih banyak embun, kami sudah berada di kali yang dingin untuk melihat, apakah ada ikan yang memakan umpan cacing dan ulat? Jika beruntung, tampak senyum lebar akan tersungging dari bibir yang beku. Tapi jika tidak, masih ada esok hari untuk mencoba. Ada kisah seru ketika bulan puasa. Aku, kakakku dan ayukku pergi memancing. Berkah dari anak jeme jawe nek itam nai keriting3. Kami dapat ikan satu mangkok besar. Yang bisa kami makan sampai dua hari. Pengalaman kami itu cukup menghebohkan. Beberapa orang dewasa tertarik untuk memancing seperti kami.

Kalau air sedang pasang, kami ramai-ramai menangkap udang dibawah akar pohon ditepi sungai. Udangnya banyak sekali. Jangan heran kalu sampai dapat satu ember ukuran 5 liter.

Dulu waktu kami masih SD. Tiap tahun pasti ada acara mbobos paok dusun. Semua warga boleh datang untuk menangkap ikan sesuka hati, sebanyak-banyaknya. Paok yang sangat luas itu adalah milik tiga dusun. Selangis, tanjung Pasai, dan Suban. Jika ada kabar paok telah dibobos, maka semua warga akan datang kesana untuk menangkap ikan dengan alat masing-masing. Kamipun, anak-anak tak akan ketinggalan. Siapa yang mau ketinggalan menangkap ikan gratis sebanyak-banyaknya. Siapa yang lincah, akan tahu dimana sarang ikan berada. Siapa yang lihai, akan tahu dimana ikan kepayahan setelah mencari persembunyian yang tak ditemukannya. Dan seperti hari itu, kami secara berkelompok, mengajak teman-teman yang lain untuk sama-sama menangkap ikan. Selepas pulang sekolah, kami dengan sigap berganti pakaian buruk dan membawa tempat apa saja yang bisa digunakan untuk menagkap ikan. Senek-senek kesayngnan ibu tak luput dari perhatian. Pokoknya mangkok-mangkok yang banyak lubang bisa dimanfaatkan. Setelah itu, kami akan menyeberang sungai. Walaupun kadang-kadang keadaan waktu seperti itu bersamaan dengan musim hujan, sungai menjadi pasang. Tak menjadi masalah bagi kami untuk menyeberang sungai. Karena kami semua lihai berenang.

Kami biasanya akan mulai mencari ikan dari siring yang paling dekat dengan sungai besar. Kemudian terus menelusuri hingga sampai pangkal siring dekat tebat. Ikan mujahir, udang, ikan sepat bahkan ikan Keli atau kalang, bisa kami kumpulkan. Senaaang sekali! Kami tak terlalu berani menuju tebat lewat jalan besar. Malu. Melewati dusun Suban, terkesan ngandon. Hina. Lebih-lebih jika pulangnya. Kendaraan yang membawa penumpang hilir mudik. Pasti akan heran memandang kami yang dekil dan beku. Maluu! Lewat sungai jauh lebih menyenangkan.

Kuburan Cina

Setipa bulan 4, daerah pekuburan cina pasti ramai oleh peziarah. Yang menarik disini adalah peziarah tersebut membawa makanan dan buah-buah yang banyak. Yang kami cari hanyalah buah atau permen. Tak lebih dari itu. Kami telah cukup percaya bahwa makanan cina sering terkontaminasi oleh minyak babi. Kami, meski bukan penganut islam yang taat kala itu, tak sedikitpun tergoda atau ngiler oleh makanannya yang lezat-lezat. Karena kami selalu diwanti-wanti oleh keluarga kami untuk tidak mengambil atau meminta makanannya itu. Ya karena minyak babi itu.

Pahamlah, kami adalah keluarga miskin. Apel, pir, anggur, pisang, jeruk sunkis adalah buah yang amat sangat jarang kami makan. Kami hanya bisa makan setahun sekali. Pada bulan 4 itu. Pada musim cina ziarah.

Diantara peziarah itu macam-macam sifatnya. Ada yang pemurah, tanpa kami minta pun, mereka akan memberikannya pada kami dengan dibagi rata. Tentunya setelah mereka selesai sembahyang. Kami sabar menanti. Tapi untuk yang pelit, tentu saja setelah mereka selesai sembahyang, mereka akan menyimpanlah lagi untuk dibawa pulang. Untuk kelompok ini, kami akan sangat paham kuburan yang mana, muka orangnya. Sebagai peringatan, tahun depan tak akan kami tunggu.

Ada dua peziarah yang baik hati. Pertama adalah, hmmm! Aku lupa namanya. Karena bapakku kala itu adalah penjaga keamanan disana, jika selesai ziarah, satu asoi besar yang berisi penuh dengan buah buahan diberikan pada kami. Atau satunya lagi. Jangsa’ namanya. Setelah ia selesai ziarah, dia membagi-bagikan uang 100an-500an kepada penduduk peribumi disana. Siapa yang mau ketinggalan. Aduhai miskin sekali kami. Kakakku dan ayukku dengan sigap meminta. Tapi pada saat aku juga ingin minta, ayah melarangku untuk melakukan itu. Malu katanya. Tapi aku langsung bilang pada ayukku, bahwa aku ingin minta sebagian.

Setelah banyak buah-buahan kami kumpulkan di atas tampah. Sebuah tempat yang biasa digunakan untuk menampi beras. Kami taruh dibawah ranjang agar aman. Buahnya macam-macam. Jeruk sunkis, pisang susu, apel dan pir. Kami sering mengintip kearah ranjang tersebut. Sekedar untuk mencium bau yang bercampur itu. Wangi sekali. Dan pada yang kami pikirkan, baunya memenuhi ruangan. Hehehe. Jika ingin memakannya, kami akan konsekuen dan berlaku adil. Dibagi rata dan dimakan bareng. Lucu, lugu, dan malu-malu....(in). Hohoho.

Sekolahku

Aku bersekolah di SD 13 Karang Dalo. Sekitar 1 kilometer. Kami biasa jalan kaki. Pagi hari setengah 7 kami semua rata-rata telah siap untuk berangkat. Jika musim dingin, mandi di kali membuat kami sangat menggigil. Sambil berjalan, tangan-tangan kami dibekap si dada. Jika tiba di Simpang Kerta Dewa, kami akan menjumpai sebuah rumah istana. Halamannnya luas, banyak bunga mawar. Ada patung gajah dan kuda yang bagus. Jika sudah sampai disana. Jarang yang tidak menoleh kesana. Pastinya pikirannya berkecambuk. Alangkah nikmatnya tinggal disana. Pasti tidurnya dikasur empuk. Bisa makan jambu air dengan sepuasnya. Tak perlu susah seperti kami. Beberapa tahun kemudian sebuah belukar di depan rumah tersebut dibangun sebuah taman makam pahlawan aku diajar oleh Ibu Parmi. Suparmi nama lengkapnya. Kelas 2 dengan Ibu ..........., kelas 3 sama pak Marni, kelas 4 aku diajar oleh Ibu Harmi. Dikelas 4 inilah aku bisa membaca. Aku baru paham bahwa kalau “n” ketemu “g” akan dibaca “eng”. Lama aku memikirkan kenapa dibaca “eng”. Dan kusimpulkan sendiri bahwa itu sudah dari sononya. Yang kuingat bahwa Pak Marni itu lucu.

Segitu saja. Masa kecil yang menyenangkan!

“DIA TELAH KEMBALI...”


Oleh: Hurul Aini

Nyimas Rofifah Hanum, nama seorang siswa baru di kelas 4A. Ofif, panggilan akrabnya pindah dari kota Lubuk Linggau. Berdasarkan informasi dari kepala sekolah, anak tersebut cerdas. Dan juga hafalannya banyak. Aku ngiri.

“ Ummi, Ofif belum bisa masuk sekolah. Dia sakit.” Kata Ummi Elva. Rupanya beliau adalah Bibi dari anak tersebut.

“ Kelas berapa Ummi?”. Kataku menyahut.

“ Dia masuk di kelas Ummi, 4A” timpalnya.

“ Oh ya gak pa-pa”. Jawabku sambil mengunyah bekal yang kubawa dari rumah. “Sakit apa Ummi?”

“ Kalau dari periksa kemarin, katanya jantung bocor...”

“Innalilallahi, udah lama?” aku serius.

“ Enggak, baru kok.”

“ Sekarang gimana?”

“ Masih opname di Palembang”. Aku mengangguk-angguk.

Awalan cerita itu mengendap untuk sementara waktu. Aku adalah wali kelas 4A. Ketika jam belajar aktif diberlakukan, kami fokus dengan kerja kami masing-masing sebagai guru di MI AL-AZHAR. Untuk tahun ajaran baru ini, kami dipanggil dengan sebutan baru. Umi dan Abi. Biar ngakrab katanya. Pengalaman baru menjadi seorang walikelas 4 cukup sedikit membuatku bingung. Soalnya medalami karakter anak diusia tanggung. Lucu, Minta perhatian, manis di depan, gampang diajak ketawa, nurut yang tulus, mengangguk nurut “ Ya Umm...iii” tapi setelah praktiknya, ya lagi-lagi kutemui anak-anak gaduh pas waktu sholat. Ketika diam-diam aku berdiri didepan pintu, mereka langsung ambil posisi manis seolah tak terjadi apa-apa. Jujur saja kadangkala sangat menggemaskan. Dilain waktu, aku harus belajar bagaimana agar tidak kecewa.

Sekitar 2 minggu berselang, Ofif masuk kelas. Teman-temannya menyambut dengan sukacita. Dan dengan senang hati memberikan tempat yang pas untuknya. Anak-anak putra yang mulai tumbuh rasa “usil” nya menumpahkan ekspresinya masing-masing. Jingrak-jingrak, lari-lari, perosotan dilantai keramik, atau bahkan teriak-teriak dengan kombinasi ketiga-tiganya. Ada-ada saja.

“ Ummi, ada yang mengetuk pintu” seru salah seorang anakku.

“ Tolong bukain ya” kataku.

“ Assalamualaikum, Ummi?” seru seseorang di depan pintu.

Aku mendongakkan kepala” Oh Ummi, Wa alaikumsalam”

Wanita itu tersenyum” ini lho Ummi, Alhamdulillah, Ofif sudah bisa masuk. Sebenarnya belum saya suruh. Karena belum pulih benar, tapi dia maksa untuk masuk.”

“ Oh gitu. Gak apa-apalah Ummi, biar dia cepat kembali semangat. Ayo Ofif langsung masuk saja.”

“ Ummi, saya mau minta jadwal pelajaran untuk Ofif” kata sang Ummi.

“ Oh ya. Nanti insyaAllah ana print-kan saja ya Ummi.” Jawabku.

“Ya-ya. Makasih ya Ummi.” Ummu Ofif pamit pulang setelah memberikan uang saku untuk buah hatinya.

Sore hari setelah pulang sekolah aku lupa kalau softcopy jadwal pelajaran terhapus dii komputer sekolah. Ya sudahlah. Nanti suruh minta saja dengan temannya. Mpi barangkali tak kan sungkan meminjami.

“ Titip ya Ummi, karena Ofif belum sembuh benar. Ya, dia gak boleh terlalu capek. Mungkin untuk sementara gak usah dulu ikut olahraga ya..”

“ Oh ya, nanti saya sampaikan sama guru olahraganya.”

Mpi dan teman-teman dengan tersenyum duduk dekat dia. Sepertinya senang sekali mereka. Jamku sudah habis. Aku pamit dengan anak-anak. Sekarang jam olahraga.

Abi Fadjri telah menunggu di kantor. Dia biasa duduk dekat komputer sambil mendengarkan nasyid atau ceramah agama. “ Ofif belum pulih benar. Untuk sementara mungkin jangan dulu ikut olahraga” . Abi Fadjri mengangguk.

Aku langsung membenahi semua barang-barangku. Buku-buku, bekal, absen, media dan meletakkan yang bisa ditinggal dikantor keatas lemari. Loker sudah penuh. Jadi punyaku kutaruh diatas lemari. Aku harus bergegas. Ada jadwal ngeles bahasa inggris di ASMA jam 4 sore.

“ Minta tolong titip anak-anak kelas 4A. Nanti kalau piket, minta tolong diawasi. Bangkunya diturunkan. Makasih ya Abi.”

Aku keluar kantor dengan menyandang tas ransel. Aku tahu seharusnya aku tidak memakai tas ransel. Tapi mengingat aku harus langsung ke kampus, dan perlengkapan harus kubawa semua, tas Sophie Martinku tak akan muat. Jadi pakai ransel.

Rasanya belum genap tiga minggu. Terkabari Ofif opname lagi. Memang Ummu Ofif sudah wanti-wanti kalau Ofif masih ada jadwal kontrol ke Palembang. Tentu saja aku maklum. Dan ceritanya waktu itu, memang sebenarnya Ofif hanya mau kontrol. Tapi, ketika selesai refresing Hb nya drop. Jadi disarankan untuk opname.

***

” Memang ada hasil diagnosa bahwa Ofif kemungkinan kena Leukimia” kata Bu Elva.

“Astaghfirullah..., kok bisa Ummi” aku kaget sekali. Banyaklah yang berkecambuk dalam pikiranku. Ofif masih kecil, leukimia, penyakit yangmengerikan bagiku, dan dan tak akan sembuh kecuali transfusi darah seumur hidup dan tentu saja biaya mahal. Ya Allah, kasian sekali Ofif.

Dan jadilah kelas tak di isi lagi oleh Ofif. Sempat terfikir untuk menelpon Ummu ofif sekedar menanyakan bagaimana kabar Ofif saat ini. Apakah dia sudah baikan atau memberikan support untuk Umminya. Tapi entahlah, tak mampu saya menyempatkan diri untuk itu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sendiri lebih-lebih ketika aku harus ke Palembang mencari buku-buku yang relevan untuk skripsiku. Setelah pulang aku langsung berkonsentrasi menggarap kembali kekurangan yang ada di proposal skripsiku.

“ Katanya mau diambil sumsum tulang belakang Las..” Ummi Eva berkata “ untuk memastikan sakit apa sebenarnya Ofif”.

“ Oh”. Hanya itu responku. Karena menurut yang aku dengar, yang aku baca dibuku, sumsum tulang belakag itu sakit sekali pada saat diambil. Ya Allah kasian sekali Ofif.

Ramadhan tiba. Waktu itu pukul 9 pagi. Aku sedang duduk dikursi sambil nonton TV. Nokia Tune berdering dari HPku. HP pemberian dari salah seorang temanku. Nomor baru, kataku dalam hati.

“Halo, Assalamualaikum”

“Wa’alaikumsalam. Ini dengan Ummi Sulas?”

“Ya betul” aku pemperbaiki posisi dudukku, karena aku merasakan bahwa aku memahami orang ini dengan kata-kata “ Ummi”nya .

“ Ini Umminya Ofif

“ Oh Ummi, gimana keadaan Ofif?” Reflek saja pertanyaanku. Karena memang sudah lama aku ingin menanyakan kabarnya. Tapi karena “LUPA” dan “LALAI”ku yang membuat aku tak sempat-sempatnya bertanya tentang itu. Kali ini mukaku benar-benar serius. Dan takut-takut kalau aku tak mendengar atau sedikit terlewatkan kata-katanya.

“ Ummi, Ofif sudah meninggal Ummi.” Ada suara tertahan disana.

“Innalillahi wa innaillahi roji’un. Aku sedikit shock. Sekarang dimana Ummi? Aku menurunkan kadar suaraku.

“ Sekarang masih di Palembang. Mau langsung dibawa ke Pagaralam”

“ Berarti sore nanti sampai ya Ummi? ” aku meyakinkan.

“ Ya nanti sore sampai. Minta tolong disampaikan dengan yang lain. ”

“Ya Ummi, akan saya sampaikan. Sabar ya Ummi...”kata-kataku yang terakhir bercampur dengan kata-katanya.

“ Assalamulaikum..”

“ Wa alaikumsalam.”

Segera setelah itu aku langsung sms dengan Kepsek. Ingin langsung nelpon tapi beda nomor, butuh pulsa yang memadai. Pulsaku tak cukup untuk berbicara lama.

Tak lama, Ummi Eva menelpon. Aku langsung bertanya kapan kiranya melayat ke rumah Ofif. Dan hasil kesepakatan, kami akan kesana sore nanti. Jam setengah lima. Aku memprediksikan Jenasah Ofif akan sampai jam 5an. Jadi bisa menunggu jenazah di rumah. Tentu saja aku ingin melihatnya, menyambutnya dan menyemangati Umminya.

Aku tiba sekitar jam setengah lima. Dan aku hanya melihat Ofif yang sudah dikafani. Tak sempat lagi aku melihat wajahnya. Menyesal sekali karena tak sempat lagi melihatnya. Umminya mengelus-elus kepalanya yang telah putih.

Jenazah akan disholatkan. Dan aku tak bisa ikut sholat. Karena aku sedang uzur. Ketika aku bertemu muka dengan Ummi Rofifah, aku langsung memeluknya. “Sabar Ummi” melihat wajahnya, aku menangis tertahan. “ InsyaAllah Ofif akan jadi penolong di akhirat”.

“ Ya, terimakasih Ummi. Ana sabar” jawabnya dengan ketegaran yang ditumbuhkannya.

***

Nyimas Rofifah Hanum. Betapa ummi iri ketika medengar bahwa hafalanmu banyak , Nak. Ummi iri ketika mendengar ananda kembali dengan keadaan masih suci. Apa rasanya disana nak? Pastinya malaikat menyambutmu dengan ramah bukan? Meski kami tak paham apa sakitmu sebenarnya, tapi yang ada dalam pikiran Ummi adalah bahwa engkau telah dijaga oleh Allah. Allah ingin melihatmu hidupmu dalam keadaan baik dan berkah.

Kita seringkali mudah sekali berubah. Hari ini baik, tapi besok kita telah tergoda oleh dunia. Ummi meyakini bahwa Allah menjagamu dari perubahan-perubahan itu.

***

“ Ofif, sampai kapan kau ingin menikmati dunia?”1

“ Aku ingin sampai umur sembilan tahun saja...!”

Footnotes:

1. Dramatisasi penetapan takdir Allah pada diri tiap manusia pada umur 4 bulan dalam kandungan.

Cerpen ini ummi buat untuk mengungkapkan rasa penyesalan ummi yang kurang perhatian ketika ananda Ofif sakit.

Rabu, 30 Juni 2010

BEGINILAH AKU MENGAJAR.....!

Aku mengajar kelas 6B. Datang agak telat karena menyiapkan penganan yang akan dititp di kantin sekolah.

Memasuki pintu gerbang aku telah diperlihatkan dengan anak-anak kelas enam b yang kena hukum dilapangan. Aku tidak bertanya kenapa dengan guru yang mengawasi. Sepertinya masalah klasik. Tidak buat PR atau tidak lengkap atribut atau bisa jadi juga karena ribut di lapangan saat apel pagi. Aku hanya terssenyum simpul dengan Bu arifah seraya menunjuk anak-anak yang kena hukum dengan bahasa isyarat, bertanya kenapa. Tanpa bersuara. Dibalas anggukan. Kalo dipikir bingung juga ya. Tapi begitulah bahasa isyarat yang aku tahu sejauh ini. Hanya dipahami dengan diam pada akhirnya.

Aku masuk ke kelas 6B. Anak-anak telah siap-siap untuk melaksanakan sholat dhuha. Beberapa lama setelah itu, aku bertanya siapa yang akan jadi Imam dan Qomat. Beberapa anak tunjuk jari. Aku mengangguk pada anak yang pertama tunjuk jari. Mulailah mereka ambil posisi. Pagi ini tak ada kendala. Sholat berjalan lancar. Setelah selesai, mereka berkemas. Anak-anak kelas 5B kembali ke kelas mereka. Untuk sholat, mereka memang digabung dengan anak kelas 6. karena kelas mereka sempit. Soalnya kelas yang mereka tempati adalah sebuah kelas untuk satu kelas yang dibagi 2 karena siswanya lebih untuk satu kelas. Terlalu berdesakan. Dan, ditakutkan guru-guru akan kewalahan untuk mengajar mereka.

Kembali ke kelas 6B. Alvin meyakinkan dan mengingatkan kalo ada PR bahasa inggris. Anak-anak ada yang merespon cepat. Lantas langsung mengumpulkan PRnya, ada yang masih menerawang keluar. Entah tak jelas apa yang sedang dalam pikirannya. Mungkin ada sesuatu yang menarik diluar sana, atau barangkali ada yang tidak nyaman, masalah di rumah atau yang lainnya. Aku berseruayo PRnya dikumpul

” Bu ada yang ga buat PR”
” yang ga buat PR maju kedepanaku menjawab
Yang tak buat PR bersungut-sungut dan yang merasa aman karena telah membuat PR menertawai untuk mengejek. Merasa tak terima, anak-anak yang tidak membuat PR, berseru” Bu, ada yng buat PR di kelas
gak usah ngajak-ngajak dong” Arif tak terima.
” yang tidak membuat PR dan yang buat PR di kelas maju kedepan.” setengahnya maju. Kelas hanya menyisahkan 10 orang. Aku tidak mau merusak pagi ini dengan marah-marah yang terlalu dini. Merusak suasana pagi yang cerah ceria. Terlihat matahari bertengger menyilaukan. Indah. Setelah kemarin-kemarin mendung, hujan, cerah, kembali mendung, dan seterusnya. ” yang tidak buat PR ikut saya keluar. Pakai sepatu, cabuti rumput di lapangan”. Ya, jadilah mereka mencabuti rumput yang cukup subur tumbuh di lapangan dan memunguti sampah-sampahnya.

Aku masuk ke kelas berkonsentrasi dengan siswa-siswaku yang berada di dalamnya. ” open page 76! ” seruku . enak juga mengajar murid yang sedikit. Gumamku dalam hati. Tidak merusak konsentrasi mengajar. Anak- anak terlihat tertib dan segera merespon apa yang aku perintahkan.” Well, everybody, listen to me very carefully” aku mulaii membaca. Dan setelahnya menyuruh mereka mengulangi perkalimat yang aku ujarkan. Lancar tanpa halangan yang berarti. “ sekarang silahkan kalian baca dua atau sampai tiga kali, setelah itu maju kedepan satu, satu untuk membaca keras. Ibu ambil nilai. Kata-kata yang sulit, silahkan tanyakan” . mereka mulai membaca. Aku keluar untuk sidak kegiatan anak-anak yang sedang membersihkan halaman. Aku mampir ketengah-tengah mereka. ” Ayo jangan ngobrol, Husen ”.
Sekitar 15 menit aku menyuruh mereka berhenti. ” kenapa gak buat PR?” tanyaku.
Lupa Bu..”
susah cari terjemahannya
” ah, alasan saja. Kan waktunya sudah lama. Dah, sekarang silahkan cuci tangan, masuk kelas. Ingat jangan ribut kalo masuk kelas”. Tanpa harus kompromi, mereka langsung mengangguk.
Beberapa saat kemudian, kelas mulai ramai dengan obrolan anak-anak. Jujur saja, inilah yang seringkali membuat buyar konsentrasiku kalo mengajar. Seringkali aku telah menyiapkan ideide cemerlang untuk menbuat mereka antusias dalam belajar bahasa inggris yang tak ubahnya seperti saudara matematika yang super ribet dan rumit, tapi hilang karena kondisi yang tidak kondusif. Setelah aku menjelaskan materi, dan menunggu anak menyiapkan diri untuk maju kedepan untuk membaca keras sebuah wacana dalam buku bahasa inggris. Aku duduk dimeja guru yang terletak di sisi kanan dekat jendela. Aku mempcerhatikan anak-anakku satu-satu. Ada yang asik bercanda. Saling jahili, ada yang berusaha konsentrasi membaca, ada yng diam. Dan, ya ampun! Masih ada yng sedang mengerjakan pelajaran lain. Astaghfirullah! Benar-benar hari-hariku diuji sedemikian rupa. Kebanyakan dari mereka tampak tidak rapi. Dari rambut, pakaian, kebersihan gigi, jari, tangan dan kaki. Sepertinya anak-anak sekarang malas gosok gigi. Gigi berlubang ada dimana-mana. Apakah mereka sadar bahwa seringkali bau mulut mereka tidak sedap dan seringkali pula ada sisa makanan disana. Yang paling sering sisa cabe. Hehehe. Hmmm!. Meski aku telah seperti ini, aku masih saja mati kutu. Dalam artian, aku masih bingung. Cara apa yang tepat untuk membuat mereka menjadi paham. Seperti hal-hal yang masih aku ingat sampai kini. Yaitu pelajaran-pelajaran, dan kata-kata bijak dari Bapak Munarto, ketika aku masih SD dulu. Begitu membekas. Sangat. Apakah mereka sama sepertiku yang dibiarkan hidup semandiri-mandirinya dengan alam. Tanpa disiplin waktu bermain, belajar, makan , pakaian, dll. Tapi apa mungkin seperti itu. Yang aku tahu, anak-anakku rata-rata dari orang yang berada. Beberapa diantara mereka, memiliki Laptop. Untuk hal ini aku menyimpulkan bahwa dalam hal fasilitas rumah tangga, pakaian, belajar gak mungkin mereka nggak punya. Laptop aja ada kok.

Tapi yah tetap saja aku memiliki tugas yang tidak bisa aku wakilkan dengan siapapun. Bu Muslimah saja mengajari anak Belitong pelosok saja bisa mencetak anak-anak dusun yang tidak memiliki apa-apa, menjadi orang-orang yang berguna dan berhasil. Zamanku, kondisiku tidak seburuk yang dialami Bu Muslimah. Artinya adalah, aku jangan terlalu sering berkeluh kesah ( Ehm, masih suka meneluh nih! ).

Dan aku memutuskan untuk mengajari anak didikku dengan sebaik-baiknya. Sebisa yang aku lakukan. Kunantikan kalian setelah liburan berkahir , anakku.
Menjadi Guru itu INDAH.....